Kamis, 29 November 2012

Birrul Walidain

Date : 16 Muharram 1434 H / 30 November 2012, Jumat
DIASSSTOLIC (Dialog Santai Seputar Islam Antar Islamholic) @ Sandi Karsa


 Muqaddimah
Segala puji bagi Allah segala nikmat dan hidayah yang Allah berikan kepada kita. Alhamdulillah pada saat ini kita masih berada di bulan Muharram, ada beberapa keutamaan bulan Muharram adalah:
·         salah satu bulan yang disucikan secara khusus oleh Allah Azza wajalla, 
·         berpuasa
Nabi Muhammad shallallahu’alaihiwasallam bersabda, "Ibadah puasa yang paling baik setelah puasa Ramadan adalah berpuasa di bulan Muharram."
Meski puasa di bulan Muharram bukan puasa wajib, tapi mereka yang berpuasa pada bulan Muharram akan mendapatkan pahala yang besar dari Allah Azza wajalla. Khususnya pada tanggal 10 Muharram yang dikenal dengan hari 'Asyura.
·         Bulan pengampunan dosa
Muharram adalah bulan yang mengawali kalender Islam.
Kata Muharram artinya 'dilarang'. Sebelum datangnya ajaran Islam, bulan Muharram sudah dikenal sebagai bulan suci dan pada bulan ini dilarang untuk melakukan hal-hal seperti peperangan dan pertumpahan darah.
·         Salah satu bulan dilipatgandakannya kebaikan dan kemaksiatan.
Manusia pada fitrahnya disuruh untuk melakukan kebaikan dimuka bumi ini, baik terhadap sesama maupun makhluk hidup lainnya. Dan kesuksesan seorang anak manusia tergantung dari ridho kedua orang tuanya. Dan kita sebagai anak mestilah menjadi anak yang sholehah yang senantiasa menambah wawasan/penegtahuan addinnya untuk memudahkan baginya semakin dekat kepada Allah dan sebagai bentuk baktinya kepada orangtuanya yaitu menjadi anak yang sholeh(ah).

Materi Inti

Suatu hari ada seorang laki-laki datang menghadap Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam. Dia bertanya, “Wahai Rasulullah, aku mempunyai harta kekayaan dan anak. Sementara ayahku berkeinginan menguasai harta milikku dalam pembelanjaan. Apakah yang demikian ini benar?” Maka jawab Rasulullah, “Dirimu dan harta kekayaanmu adalah milik orang tuamu.” (Riwayat Ibnu Majah dari Jabir bin Abdillah).

Begitulah, syari’at Islam menetapkan betapa besar hak-hak orang tua atas anaknya. Bukan saja ketika sang anak masih hidup dalam rengkuhan kedua orang tuanya, bahkan ketika ia sudah berkeluarga dan hidup mandiri. Tentu saja hak-hak yang agung tersebut sebanding dengan besarnya jasa dan pengorbanan yang telah mereka berikan. Sehingga tak mengherankan jika perintah berbakti kepada orang tua menempati ranking ke dua setelah perintah beribadah kepada Allah dengan mengesakan-Nya. Allah berfirman, “Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada ibu bapakmu.” (An-Nisa:36)

Birrul Walidain, Bagaimana Caranya?

Sebagai anak, sebenarnya banyak hal yang dapat kita lakukan untuk mengekspresikan rasa bakti dan hormat kita kepada kedua orang tua. Memandang dengan rasa kasih sayang dan bersikap lemah lembut kepada mereka pun termasuk birrul walidain. Allah berfirman, “Dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia, dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang.” (Al-Isra’:23)

Dalam kitab “Adabul Mufrad, Imam Bukhari mengetengahkan sebuah riwayat bersumber dari Ibnu Jarir dan Ibnu Mundzir melalui Urwah, menjelaskan mengenai firman Allah : “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang.” Maka Urwah menerangkan bahwa kita seharusnya tunduk patuh di hadapan kedua orang tua sebagaimana seorang hamba sahaya tunduk patuh di hadapan majikan yang garang, bengis, lagi kasar.

Pada suatu ketika, ada seorang laki-laki datang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dia bersama seorang laki-laki lanjut usia. Rasulullah bertanya, ”Siapakah orang yang bersamamu?” Maka jawab laki-laki itu, “Ini ayahku”. Rasulullah kemudian bersabda, “Janganlah kamu berjalan di depannya, janganlah kamu duduk sebelum dia duduk, dan janganlah kamu memanggil namanya dengan sembarngan serta janganlah kamu menjadi penyebab dia mendapat cacian dari orang lain.” (Imam Ath-Thabari dalam kitab Al-Ausath)

Berbakti kepada orang tua tak terbatas ketika mereka masih hidup, tetapi bisa dilakukan setelah mereka wafat. Hal itu pernah ditanyakan oleh seorang sahabat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka Rasulullah menjawab, “Yakni dengan mengirim doa dan memohonkan ampunan. Menepati janji dan nadzar yang pernah diikrarkan kedua orang tua, memelihara hubungan silaturahim sera memuliakan kawan dan kerabat orang taumu.” Demikian Imam Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ibnu Hiban meriwayatkan bersumber dari Abu Asid Malik bin Rabi’ah Ash-Sha’idi

Bukan dalam Syirik dan Maksiyat

Meski kita diperintah untuk taat dan patuh kepada mereka, namun hal itu tak berlaku ketika keduanya memerintahkan kita untuk menyekutukan Allah dan bermaksiyat kepada-Nya. Rasulullah bersabda,”Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiyat kepada Allah.” (Riwayat Ahmad)


Kita tentu ingat kisah seorang sahabat, Sa’ad bin Waqash yang diberi dua buah opsi oleh ibunya yang masih musyrik: kembali kepada kemusyrikan atau ibunya akan mogok makan dan minum sampai mati. Ketika sang ibu tengah melakukan aksinya selama tiga hari tiga malam, beliau berkata,”Wahai Ibu, seandainya Ibu memiliki 1000 jiwa kemudian satu per satu meninggal, tetap aku tidak akan meninggalkan agama baruku (Islam). Karena itu, terserah ibu mau makan atau tidak.” Melihat sikap Sa’ad yang bersikeras itu maka ibunya pun menghentikan aksinya. Sehubungan dengan peristiwa itu, Allah menurunkan ayat: “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan-Ku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (Luqman:15). Jadi, kalau ortu ngajak ke arah kemusyrikan maka tidak wajib kita mentaati mereka. Hanya saja sebagai anak tetap berkewajiban bergaul dengan baik selama di dunia. Sikap santun harus senantiasa dijaga.

Awas: Durhaka!

Durhaka kepada orang tua (‘uquuqul walidain) termasuk dalam kategori dosa besar. Bentuknya bisa berupa tidak mematuhi perintah, mengabaikan, menyakiti, meremehkan, memandang dengan marah, mengucapkan kata-kata yang menyakitkan perasaan, sebagaimana disinggung dalam Al-Qur’an: “Dan janganlah sekali-kali kamu mengatakan ‘ah’ kepada orang tua.” (Al-Isra’ : 23). Jika berkata ‘ah/cis/huh’ saja nggak boleh, apalagi yang lebih kasar daripada itu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Barangsiapa membuat hati orang tua sedih, berarti dia telah durhaka kepadanya.” (Riwayat Bukhari). Dalam kesempatan lain Rasulullah bersabda, “Termasuk perbuatan durhaka seseorang yang membelalakkan matanya karena marah.” (Riwayat Thabrani).


Orang tua kita, siapa pun orangnya, memang harus dihormati, apalagi jika beliau seorang muslim. Rasulullah pernah berpesan, “Seorang muslim yang mempunyai kedua orang tua yang muslim, kemudian ia senantiasa berlaku baik kepadanya, maka Allah berkenan membukakan dua pintu surga baginya. Kalau ia memiliki satu orang tua saja, maka ia akan mendapatkan satu pintu surga terbuka. Dan kalau ia membuat kemurkaan kedua orang tua maka Allah tidak ridha kepada-Nya.” Maka ada seorang bertanya, “Walaupun keduanya berlaku zhalim kepadanya?” Jawab Rasulullah, “Ya, sekalipun keduanya menzhaliminya.” (Riwayat Bukhari)

Kisah Uwais al-Qorni

Dari Asir bin Jabir beliau mengatakan, “Jika para gubernur Yaman menemui khalifah Umar Ibnul Khatthab, maka khalifah selalu bertanya, “Apakah diantara kalian ada yang bernama Uwais bin Amir”, sampai suatu hari beliau bertemu dengan Uwais, beliau bertanya, “engkau Uwais bin Amir?”, “Betul” Jawabnya. Khalifah Umar bertanya, “Engkau dahulu tinggal di Murrad kemudian tinggal di daerah Qorn?”, “Betul,” sahutnya. Beliau bertanya, “Dulu engkau pernah terkena penyakit belang lalu sembuh akan tetapi masih ada belang di tubuhmu sebesar uang dirham?”, “Betul.” Beliau bertanya, “Engkau memiliki seorang ibu.” Khalifah Umar mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Uwais bin Amir akan datang bersama rombongan orang dari Yaman dahulu tinggal di Murrad kemudian tinggal di daerah Qorn. Dahulu dia pernah terkena penyakit belang, lalu sembuh, akan tetapi masih ada belang di tubuhnya sebesar uang dirham. Dia memiliki seorang ibu, dan dia sangat berbakti kepada ibunya. Seandainya dia berdoa kepada Allah, pasti Allah akan mengabulkan doanya. Jika engkau bisa meminta kepadanya agar memohonkan ampun untukmu kepada Allah maka usahakanlah.” Maka mohonkanlah ampun kepada Allah untukku, Uwais al-Qarni lantas berdoa memohonkan ampun untuk Umar Ibnul Khaththab. Setelah itu Umar bertanya kepadanya, “Engkau hendak pergi ke mana? “Kuffah,” jawabnya. Beliau bertanya lagi, “Maukah ku tuliskan surat untukmu kepada gubernur Kuffah agar melayanimu? Uwais al-Qorni mengatakan, “Berada di tengah-tengah banyak orang sehingga tidak dikenal itu lebih ku sukai.” (HR. Muslim)

Berhubungan dengan orang tua memang harus hati-hati. Jangan sampai hanya karena emosi, kelalaian, ketidaksabaran plus rasa ego kita yang besar, kita terjerumus ke dalam ‘uququl walidain yang berarti kemurkaan Allah. Na’udzubillah. Bukankah dalam sebuah hadits Rasulullah pernah berpesan bahwa keridhaan Allah berada dalam keridhaan orang tua, dan kemurkaan Allah berada dalam kemarahan orang tua? Dus, selagi masih ada waktu dan kesempatan, tunjukkanlah cinta, sayang, hormat, dan bakti kita kepada keduanya, hanya untuk satu tujuan: meraih cinta, ampunan, pahala, dan ridha-Nya…
Wallahu A’lam.

Sumber :
·         Dari artikel Potret Salaf Dalam Birrul Walidain — Muslim.Or.Id by null
·         http://dunia-maharani.blogspot.com/2006/08/memperbaiki-birrul-walidain.html
           

1 komentar: